Dua daerah di Indonesia, Pati dan Jepara, telah membatalkan rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menyusul protes publik. Keputusan ini diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian. Total 20 daerah telah menerbitkan aturan terkait kenaikan pajak ini, sebagian besar bahkan sebelum kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat di awal 2025.
Mendagri Tito menjelaskan bahwa dari 20 daerah yang menaikkan PBB dan NJOP, dua diantaranya telah membatalkan kebijakan tersebut. “Dari 20 daerah ini, dua daerah sudah membatalkan, Pati dan Jepara,” tegas Tito mengutip pernyataan dari Antara. Ini menunjukkan adanya respons terhadap tekanan masyarakat yang menolak kenaikan pajak yang dinilai memberatkan.
Kenaikan PBB dan NJOP memang merupakan kewenangan pemerintah daerah, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Namun, Mendagri menekankan pentingnya pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan tersebut.
“Tapi ada klausul, yaitu harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang kedua juga harus ada partisipasi dari masyarakat, jadi harus mendengar suara publik juga,” ujar Mendagri Tito. Pernyataan ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan perpajakan.
Mendagri Tito membantah anggapan bahwa kenaikan PBB hingga ratusan persen di beberapa daerah merupakan konsekuensi dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Sebagian besar peraturan daerah terkait kenaikan PBB dan NJOP, dibuat jauh sebelum kebijakan efisiensi tersebut diberlakukan.
“Jadi, Perkada (Peraturan Kepala Daerah) dari lima daerah itu dibuat di tahun 2025. Sisanya (15) itu dibuat di tahun 2022, 2023, dan 2024. Artinya, (kenaikan PBB dan NJOP di) 15 daerah tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi,” jelas Tito. Penjelasan ini bertujuan untuk mengklarifikasi penyebab kenaikan pajak di daerah-daerah tersebut.
Kasus di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi contoh nyata dampak dari kenaikan PBB yang signifikan. Puluhan ribu warga melakukan demonstrasi menuntut Bupati Pati Sudewo mundur setelah kebijakan kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen diterapkan. Akibatnya, kebijakan tersebut akhirnya dicabut dan tarif PBB-P2 dikembalikan ke tingkat tahun 2024.
Kejadian di Pati menjadi peringatan bagi pemerintah daerah lainnya. Kenaikan pajak yang drastis tanpa mempertimbangkan dampak sosial ekonomi dan aspirasi masyarakat dapat memicu protes besar-besaran dan berujung pada pencabutan kebijakan. Hal ini menekankan perlunya dialog dan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan perpajakan.
Pemerintah pusat perlu memberikan panduan yang lebih jelas dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat kepada pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan perpajakan. Tujuannya agar kenaikan pajak dilakukan secara proporsional dan tidak memberatkan masyarakat, serta sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Ke depan, koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. Transparansi dan partisipasi publik merupakan kunci utama dalam menciptakan kebijakan perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
Komentar