Nissan Motor Co. mengalami kerugian bersih terbesar dalam 25 tahun terakhir, mencapai angka fantastis Rp74,9 triliun untuk tahun fiskal 2025. Penurunan penjualan kendaraan dan melemahnya laba operasi menjadi penyebab utama krisis ini. Kondisi tersebut memaksa perusahaan otomotif asal Jepang ini untuk melakukan restrukturisasi besar-besaran demi keberlangsungan bisnisnya.
CEO baru Nissan, Ivan Espinosa, meluncurkan rencana pemulihan yang diberi nama “Re:Nissan”. Rencana ini bertujuan mengembalikan profitabilitas perusahaan dalam waktu dekat. Langkah-langkah yang diambil cukup drastis dan berdampak signifikan bagi karyawan dan struktur operasional Nissan.
Langkah-langkah Drastis dalam Rencana Re:Nissan
Selain PHK, Nissan juga akan menutup tujuh pabrik secara bertahap hingga tahun fiskal Jepang 2027. Jumlah ini lebih banyak dari rencana awal yang hanya empat pabrik. Penutupan pabrik ini akan berdampak besar pada efisiensi produksi dan distribusi Nissan secara global.
Lebih lanjut, Nissan membatalkan rencana pembangunan pabrik baterai di Kyushu, Jepang. Keputusan ini menunjukkan pergeseran strategi perusahaan dalam menghadapi tantangan global, khususnya transisi ke kendaraan listrik. Nissan juga akan merombak total sistem produksi powertrain mereka. Ini menandakan transformasi besar dalam lini produksi dan teknologi yang digunakan oleh Nissan.
Dampak dari Krisis Keuangan Nissan
Sepanjang tahun fiskal yang berakhir pada 31 Maret 2025, penjualan kendaraan Nissan turun 2,8 persen menjadi 3,35 juta unit. Laba operasi anjlok 88 persen menjadi hanya Rp7,8 triliun. Kerugian ini merupakan yang terbesar kedua dalam sejarah perusahaan, setelah hampir bangkrut pada tahun 2000.
Krisis ini memaksa Nissan untuk melakukan penghematan biaya yang signifikan. Target penghematan mencapai 500 miliar yen (Rp56,6 triliun) dibandingkan kinerja tahun fiskal sebelumnya. Nissan menargetkan untuk kembali mencetak profit operasional antara April 2026 hingga Maret 2027.
Efisiensi Operasional dan Strategi Jangka Panjang
Waktu pengembangan kendaraan juga ditargetkan dipersingkat dari 37 bulan menjadi 30 bulan. Semua langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan mempercepat inovasi produk di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Rencana pemulihan ini juga mengakhiri spekulasi mengenai merger dengan perusahaan otomotif lain seperti Honda dan Mitsubishi yang sempat beredar awal tahun ini. Nissan tampaknya memilih fokus pada restrukturisasi internal dan strategi jangka panjangnya sendiri.
Secara keseluruhan, langkah-langkah yang diambil oleh Nissan menunjukkan upaya besar untuk bertahan dan bangkit dari krisis keuangan yang sedang dihadapi. Namun, keberhasilan rencana Re:Nissan sangat bergantung pada pelaksanaan strategi yang efektif dan kemampuan perusahaan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar otomotif global yang dinamis.
Analisis lebih lanjut diperlukan untuk melihat dampak jangka panjang dari langkah-langkah ini, baik bagi Nissan sendiri maupun bagi industri otomotif global secara keseluruhan. Apakah strategi Re:Nissan akan berhasil mengembalikan Nissan ke jalur profitabilitas masih harus dibuktikan dalam beberapa tahun ke depan.
Tinggalkan komentar