Aroma Kopi Pahit: Perjuangan Afrika Bebas dari Cengkeraman Kolonial

Mais Nurdin

28 Mei 2025

4
Min Read
Aroma Kopi Pahit: Perjuangan Afrika Bebas dari Cengkeraman Kolonial

Pemerintah kolonial Inggris di Kenya, menyadari potensi dari tanaman komersial, memprioritaskan pengembangan budidaya kopi. Mereka mengidentifikasi dataran tinggi tengah Kenya sebagai lokasi ideal, dengan tanah vulkanis subur, ketinggian antara 1.500 hingga 2.100 meter, dan iklim sedang yang cocok untuk kopi Arabika. Hal ini memicu komersialisasi budidaya kopi secara besar-besaran di Kenya.

Namun, di balik kesuksesan komersial kopi ini tersembunyi praktik kolonial yang eksploitatif. Tanah, sumber daya utama, menjadi sasaran utama perampasan. Undang-Undang Tanah Kerajaan (Crown Lands Ordinance) tahun 1902 menyatakan semua lahan di Protektorat Afrika Timur sebagai milik Kerajaan Inggris. Undang-undang ini memungkinkan penjualan atau penyewaan lahan hingga 1.000 ekar (sekitar 404,7 hektare) kepada pejabat berwenang, dengan jangka waktu sewa hingga 99 tahun.

Daerah paling subur, terutama dataran tinggi tengah, diklaim sebagai “Dataran Tinggi Putih” dan secara eksklusif dialokasikan untuk pemukim . Masyarakat pribumi, terutama Kikuyu dan Kalenjin, dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka dan dipindahkan ke lahan yang kurang subur. Mereka juga dipaksa bekerja di perkebunan kopi milik para pemukim dengan upah yang rendah di bawah tekanan kebijakan kolonial dan pajak yang memberatkan.

Ekspansi Perkebunan Kopi dan Penggusuran Penduduk Asli

Pertumbuhan populasi pemukim di “Dataran Tinggi Putih” (termasuk Nanyuki, Nyahururu, dan Uasin Gishu) sangat signifikan. Kurator Museum Enzi, Maina Kiarie, mencatat peningkatan jumlah pemukim dari sekitar 100 orang pada tahun 1903 menjadi lebih dari 80.000 pada tahun 1950. Pada tahun 1960, sekitar 2.000 pemukim masing-masing memiliki lahan lebih dari 2.000 ekar (sekitar 809 hektare), menunjukkan konsolidasi lahan yang masif oleh pemukim Eropa selama periode kolonial.

Buku “Out of Africa” karya Karen Blixen merefleksikan eksploitasi yang dialami petani penggarap lokal. Di lahan seluas 6.000 ekar (sekitar 2.428 hektare) miliknya, sekitar 1.000 ekar (sekitar 404,7 hektare) dibudidayakan oleh keluarga penggarap. Mereka adalah penduduk asli yang telah tinggal di lahan tersebut selama bergenerasi, namun tanpa hak kepemilikan. “Para penggarap lahan adalah penduduk asli, yang tinggal di lahan bersama keluarga mereka dan membudidayakan shamba kecil mereka di sana. Sebagai imbalannya, mereka harus bekerja untuk saya selama beberapa hari dalam setahun,” tulis Blixen.

Monopolisasi Kopi oleh Kolonialis

Wakil ketua African Fine Coffees Association, Karuga Macharia, menjelaskan bahwa selama era kolonial, penduduk asli Kenya dilarang membudidayakan kopi. Mereka dipaksa menjadi buruh di perkebunan milik pemukim Eropa dalam kondisi yang eksploitatif. “Mereka secara paksa dipindahkan dari tanah yang subur dan dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan kopi milik pemukim, sering kali dalam kondisi yang eksploitatif,” kata Macharia kepada Xinhua.

kopi kolonial difokuskan pada ekspor biji kopi mentah ke Eropa, di mana pemrosesan dan penjualan dilakukan. Ini mengakibatkan masyarakat setempat hanya menerima sedikit , meskipun kopi ditanam di tanah mereka. Sistem ini memperkuat ketidaksetaraan dan ketergantungan negara jajahan kepada negara penjajah.

Chris Oluoch, direktur program di Fairtrade Africa, menekankan dampak jangka panjang kolonialisme pada kopi Kenya. Saat ini, produsen kopi lokal sering terikat pada perusahaan multinasional berbasis di negara-negara Barat, yang menghambat pertumbuhan dan petani.

Kasus Uganda: Kopi dan Kolonial

Di Uganda, yang juga menjadi protektorat Inggris, budidaya teh dipromosikan secara aktif selama periode kolonial. Hal ini berdampak pada konsumsi domestik kopi yang rendah, sementara produksi kopi hampir seluruhnya diekspor. kolonialisme berlanjut hingga kini, memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kopi.

Sebuah merek kopi bernama “kiboko” (kuda nil dalam bahasa Swahili), yang juga merujuk pada cambuk yang dibuat dari kulit kuda nil yang digunakan oleh pengawas Inggris untuk menerapkan kerja paksa di perkebunan kopi, mencerminkan asosiasi negatif kopi dengan eksploitasi. Hal ini turut berkontribusi pada persepsi kopi sebagai “minuman orang kulit putih” di Uganda.

Kemerdekaan dan Tantangan Ekonomi

Kenya meraih kemerdekaan dari Inggris pada 12 Desember 1963. Namun, kepergian penjajah tidak menghapus struktur ekonomi yang telah mereka bangun. Kopi, sebagai komoditas utama, menjadi pedang bermata dua bagi pembangunan ekonomi Kenya pasca-kemerdekaan.

Meskipun menghasilkan devisa, kopi juga berkontribusi pada kerawanan pangan, kemiskinan di pedesaan, dan ketimpangan dalam rantai nilai . Tantangan pasca-kolonial ini mengharuskan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan eksploitasi masa lalu.

Kesimpulannya, perkebunan kopi di Kenya dan Uganda tidak hanya menceritakan kisah kesuksesan komersial, tetapi juga kisah ketidakadilan kolonial yang berdampak panjang. Eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja, serta pengabaian penduduk lokal, meninggalkan warisan kompleks yang masih memengaruhi sektor pertanian dan ekonomi kedua negara hingga saat ini. Pemahaman akan konteks historis ini sangat penting untuk membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi para petani kopi.

Tinggalkan komentar

Related Post