Tragedi longsor tambang Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, yang menewaskan 21 pekerja tambang dan melukai beberapa lainnya, telah menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan Indonesia. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan kerja biasa, melainkan cerminan dari sistem yang gagal melindungi nyawa para pekerja.
Aktivitas tambang ilegal di Gunung Kuda telah dilarang sejak Januari 2025, namun tetap beroperasi hingga Mei 2025, mengakibatkan bencana mematikan ini. Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, dengan tegas menyatakan bahwa ini bukan hanya soal kelalaian individu, melainkan kegagalan sistemik dalam pengawasan dan penegakan hukum di lapangan.
Pertanyaan kritis yang diajukan Abdullah adalah: mengapa tambang ilegal yang sudah dilarang sejak awal tahun masih bisa beroperasi hingga memakan korban jiwa? Hal ini menunjukkan betapa lemahnya otoritas dalam mengawasi dan menghentikan operasi tambang ilegal. Proses pengawasan yang lemah ini telah menyebabkan tragedi yang seharusnya bisa dicegah.
Kelemahan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Insiden ini terjadi di area tambang batu alam dengan kontur lereng yang sangat curam dan kondisi geologis yang rapuh akibat pelapukan. Kondisi geografis yang berbahaya ini seharusnya menjadi perhatian utama dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pertambangan. Namun, kegagalan dalam aspek keselamatan kerja menjadi penyebab utama tragedi ini.
Dua tersangka telah ditetapkan oleh Kepolisian, yaitu Ketua Koperasi Al-Azariyah dan Kepala Teknik Tambang. Keduanya diduga tetap menjalankan kegiatan pertambangan meskipun telah menerima surat larangan dari Dinas ESDM setempat pada 8 Januari 2025 dan surat peringatan kedua pada 19 Maret 2025 karena belum adanya persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Namun, Abdullah menekankan bahwa penindakan hukum tidak boleh hanya terfokus pada para pelaku di lapangan. Proses hukum yang adil harus juga menyasar pihak-pihak lain yang terlibat, termasuk pejabat daerah dan aparat pengawas yang diduga melakukan pembiaran atau bahkan terlibat dalam praktik korupsi yang memfasilitasi operasi tambang ilegal.
Perlu Reformasi Sistemik di Sektor Pertambangan
Kejadian ini menunjukkan perlunya reformasi sistemik di sektor pertambangan Indonesia. Reformasi ini harus meliputi peningkatan pengawasan, penegakan hukum yang tegas dan adil, serta peningkatan standar keselamatan kerja di semua lokasi tambang, baik legal maupun ilegal. Hal ini sangat penting untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Pentingnya transparansi dan akuntabilitas juga menjadi sorotan. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana proses perizinan dan pengawasan tambang dilakukan, dan bagaimana pemerintah memastikan keselamatan para pekerja. Kurangnya transparansi ini seringkali menjadi celah bagi praktik-praktik ilegal dan korup.
Abdullah juga menekankan pentingnya keadilan dalam penegakan hukum. Ketimpangan hukum yang hanya menargetkan pelaku kecil sementara pihak-pihak yang berwenang lepas dari tanggung jawab, akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Hukum harus ditegakkan secara adil dan merata, tanpa pandang bulu.
Rekomendasi untuk Pencegahan Kejadian Serupa:
Tragedi Gunung Kuda seharusnya menjadi momentum untuk melakukan perubahan mendasar dalam sektor pertambangan Indonesia. Bukan hanya fokus pada penindakan hukum terhadap pelaku lapangan, tetapi juga reformasi menyeluruh untuk memastikan keselamatan pekerja dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat.
Tinggalkan komentar