Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan dokter residen Unpad, Priguna Anugerah Pratama (PAP), telah memasuki babak baru. Berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) oleh Polda Jawa Barat dan akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombespol Surawan, menyatakan pelimpahan berkas akan dilakukan pada 10 Juni. Setelah berkas diterima, Kejati Jabar akan menunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menangani persidangan.
Hasil pemeriksaan psikologis terhadap PAP menunjukkan adanya fantasi seksual menyimpang terhadap individu dalam kondisi tidak berdaya. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi unsur pidana dalam kasus ini. Perbuatan PAP dapat dijerat dengan pasal pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pasal 13 UU TPKS mengatur tentang perbudakan seksual, yang mana seseorang yang secara melawan hukum menempatkan orang lain dalam kondisi tidak berdaya untuk dieksploitasi seksual dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun. Ini relevan dengan kasus ini karena korban diduga dalam kondisi tidak berdaya saat peristiwa terjadi.
Bukti-bukti yang Memperkuat Tuduhan
Hasil uji laboratorium forensik menunjukkan adanya kecocokan DNA antara tersangka dan salah satu korban. Uji laboratorium dilakukan kembali saat rekonstruksi Tempat Kejadian Perkara (TKP). Kecocokan DNA ini menjadi bukti kuat yang mendukung dakwaan terhadap PAP.
Selain DNA, hasil uji toksikologi juga mengungkap adanya kandungan obat bius dalam darah korban. Ini memperkuat dugaan bahwa PAP menggunakan obat bius untuk melumpuhkan korban sebelum melakukan tindakan kekerasan seksual. Jenis obat bius yang digunakan masih dalam penyelidikan lebih lanjut.
Kronologi Kejadian
PAP ditahan sejak 23 Maret 2025 setelah keluarga korban, FH, melaporkan dugaan pemerkosaan. FH menjaga ayahnya yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) saat kejadian.
Peristiwa dugaan pemerkosaan terjadi pada awal Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB. PAP meminta FH untuk melakukan pemeriksaan darah dan membawanya dari IGD ke Gedung MCHC lantai 7, tanpa didampingi adiknya.
Di lantai 7, FH diminta berganti pakaian dengan baju operasi. Kemudian, PAP menyuntik FH dengan obat bius, yang menyebabkan FH tidak sadarkan diri. FH baru sadar sekitar pukul 04.00 WIB dan kembali ke ruang IGD. Setelah buang air kecil, FH merasakan sakit pada area sensitifnya, lalu menceritakan kejadian kepada ibunya. Laporan keluarga ke polisi kemudian memicu penyelidikan dan penangkapan PAP.
Implikasi Kasus Terhadap Dunia Medis
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan besar terkait keamanan pasien di lingkungan rumah sakit. Kepercayaan publik terhadap tenaga medis perlu dijaga, dan kasus ini menjadi pengingat pentingnya penerapan standar etika dan prosedur yang ketat di rumah sakit untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Pentingnya pelatihan dan pengawasan yang lebih ketat bagi tenaga medis dalam hal etika profesi dan penanganan pasien menjadi hal krusial yang perlu dikaji ulang. Sistem pelaporan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan rumah sakit juga perlu diperbaiki agar lebih efektif dan melindungi korban.
Proses hukum yang adil dan transparan sangat penting untuk memastikan keadilan bagi korban dan mencegah impunitas bagi pelaku. Semoga kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran dan upaya pencegahan kekerasan seksual.
Tinggalkan komentar