Rencana kenaikan tarif cukai rokok menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Data menunjukkan mayoritas perokok mengonsumsi rokok harga terjangkau (Rp 13.000-Rp 15.000 per bungkus), kenaikan cukai berpotensi meningkatkan harga jual hingga Rp 20.000 atau lebih.
Hal ini dapat memicu pergeseran konsumsi ke rokok ilegal yang tidak berkontribusi pada penerimaan negara. Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, menekankan perlunya kebijakan cukai yang seimbang, memperhatikan aspek sosial ekonomi dan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Kebijakan yang terlalu menekan justru bisa kontraproduktif.
Dampak Kenaikan Cukai Rokok terhadap Perekonomian
Pabrik rokok skala menengah berperan vital dalam perekonomian lokal. Mereka menyerap banyak tenaga kerja dan menggerakkan sektor pendukung seperti petani tembakau, pedagang, distributor, dan pekerja informal. Kenaikan cukai yang signifikan berpotensi menimbulkan efek domino, seperti penurunan serapan tenaga kerja dan terganggunya perputaran ekonomi lokal.
Kebijakan yang hanya menguntungkan perusahaan besar dan berbasis otomatisasi akan mengancam keberlangsungan pabrik kecil dan menengah yang padat karya. Dominasi perusahaan besar juga akan mengurangi persaingan yang sehat dalam industri ini. Sekitar 70 persen produksi rokok nasional dikendalikan oleh perusahaan besar, sedangkan pelaku usaha kecil dan menengah hanya memiliki porsi pasar terbatas.
Ancaman Terhadap Industri Rokok Skala Menengah
Kenaikan cukai yang drastis dapat mengakibatkan penutupan pabrik rokok skala menengah dan kecil, mengakibatkan pengangguran massal dan melemahkan perekonomian di daerah-daerah penghasil tembakau. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi jangka panjang dari kebijakan ini.
Penting untuk dipertimbangkan dampak terhadap petani tembakau yang menjadi pemasok utama bahan baku industri rokok. Penurunan permintaan tembakau akibat penurunan produksi rokok dapat berdampak negatif pada pendapatan petani dan kesejahteraan mereka.
Kebijakan Fiskal yang Berkelanjutan
Kebijakan fiskal yang efektif harus mempertimbangkan daya beli masyarakat dan dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan. Pendekatan yang hanya berfokus pada target tahunan tanpa memperhitungkan realitas sosial ekonomi dapat berdampak negatif pada penerimaan cukai jangka panjang.
Misbakhun menyarankan pendekatan yang komprehensif dan berbasis data untuk menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan keberlanjutan industri rokok skala menengah dan stabilitas ekonomi lokal. Komisi XI DPR RI akan membahas hal ini dengan Kementerian Keuangan dan Bea Cukai untuk RAPBN 2026.
Rekomendasi Kebijakan yang Lebih Terukur
Pemerintah perlu melakukan kajian yang lebih mendalam tentang dampak kenaikan cukai terhadap berbagai lapisan masyarakat. Kajian tersebut perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk perwakilan dari industri rokok, petani tembakau, dan ahli ekonomi.
Sebagai alternatif, pemerintah bisa mempertimbangkan kenaikan cukai yang bertahap dan terukur, agar industri rokok memiliki waktu untuk beradaptasi dan mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian. Selain itu, perlu ada program pendampingan bagi industri rokok kecil dan menengah agar dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing mereka.
Penting juga untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal agar penerimaan cukai dapat tetap terjaga dan mencegah persaingan yang tidak sehat. Dengan strategi yang tepat, pemerintah dapat menyeimbangkan penerimaan negara dengan menjaga stabilitas perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Tinggalkan komentar