Wakil Presiden Republik Indonesia Ke-10 dan Ke-12, Jusuf Kalla (JK), baru-baru ini menyoroti dampak transformatif kecerdasan buatan (AI) terhadap dunia pendidikan. Dalam pidatonya di Rapimnas PGRI Tahun 2025 di Jakarta, JK menekankan betapa AI telah dan akan terus mengubah proses belajar mengajar secara fundamental.
Menurut JK, AI menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi para pendidik. “Kecerdasan berpikir itu yang akan nanti banyak berpengaruh pada pendidikan karena akan merubah secara total sistem pendidikan, baik cara mengajar, cara menilai dan lainnya,” tegas JK. Ia melihat AI telah merambah seluruh sektor kehidupan, termasuk pendidikan, bahkan sampai pada titik di mana murid dapat menjadi lebih mahir dalam memanfaatkan teknologi daripada gurunya sendiri.
JK mengakui bahwa tidak ada jalan untuk menghindari perkembangan AI. Kehadirannya telah membawa perubahan yang signifikan, mengubah cara guru mengajar dan murid belajar. “AI saat ini menjadi bagian dari guru, bagian dari murid. Bahkan karena AI murid menjadi lebih pintar dari guru. Itulah yang merubah dunia pendidikan ini,” ujarnya. Namun, JK juga menekankan bahwa perubahan ini tidak akan terjadi secara instan.
Ia memperkirakan transformasi revolusioner dalam pendidikan akibat AI akan terjadi dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun mendatang. “Jadi nanti tidak akan ada lagi tulisan indah, tapi bagaimana menulis dengan cepat. Nanti tidak akan membutuhkan kertas lagi karena sudah menyatu dalam HP dan laptop,” ungkapnya, menggambarkan perubahan metodologi pembelajaran yang akan terjadi.
Tantangan dan Adaptasi Guru di Era AI
Menghadapi realita ini, JK mendesak para guru untuk bersiap menghadapi perubahan. Mereka harus beradaptasi dengan teknologi AI, mengubah metode pengajaran, dan memiliki pola pikir yang terbuka. Tujuannya, agar guru tetap relevan dan mampu membimbing murid secara efektif, bahkan di tengah kemampuan AI yang semakin canggih.
JK menyoroti pentingnya peran guru untuk tetap berada di depan murid, tidak hanya dalam hal penguasaan materi, tetapi juga dalam kemampuan berpikir kritis dan analitis. “Itu bisa saja terjadi saat ini dan di masa depan. Sebab para murid saat ini akan mengandalkan AI yang hampir bisa menjawab semua pertanyaan,” katanya. Guru harus mampu membimbing murid untuk menggunakan AI secara bijak dan bertanggung jawab, bukan sekadar mengandalkan kemampuan pencarian informasi AI semata.
Peran Disiplin dan Pengendalian Penggunaan Gadget
Di sisi lain, JK menekankan pentingnya disiplin dalam penggunaan gadget di sekolah. Ia khawatir jika murid terlalu bebas menggunakan telepon genggam, kemampuan berpikir logis dan analitis mereka akan terhambat. “Guru harus tegas dalam penggunaan telepon genggam di sekolah. Sebab jika murid bebas menggunakan telepon genggam, maka logika berpikir tidak akan digunakan,” tegasnya.
Penggunaan teknologi, termasuk AI, harus diintegrasikan secara bijak ke dalam proses pembelajaran. AI dapat menjadi alat bantu yang efektif, namun tidak boleh menggantikan peran guru sepenuhnya dalam membimbing perkembangan intelektual dan karakter murid. Guru harus aktif dalam mengelola integrasi AI ini untuk memastikan keberhasilan pembelajaran.
Kesimpulan
Persiapan menghadapi era AI dalam pendidikan harus dimulai dari sekarang. Guru harus proaktif dalam menguasai teknologi dan mengembangkan metode pengajaran yang inovatif. Dengan demikian, guru tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga menjadi pembimbing yang efektif bagi generasi mendatang yang akan hidup berdampingan dengan kecerdasan buatan. Fokus harus tetap pada bagaimana mengedepankan hal positif dalam pembelajaran, bukan hanya mengejar kecepatan dan efisiensi semata.
Tinggalkan komentar