Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening bank “nganggur” atau dormant telah menimbulkan kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak. Salah satu kritik datang dari investor Benny Batara Hutabarat, atau Benix, yang menyoroti potensi dampak negatif kebijakan ini terhadap kepercayaan publik.
Benix khawatir kebijakan ini akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan Indonesia. Ia berpendapat bahwa jika terus berlanjut, kepanikan akan menyebar luas dan berujung pada hilangnya kepercayaan publik terhadap seluruh sistem keuangan negara.
“Kalau ini terus-terus dilakukan, dan netizen makin banyak yang panik, rakyat makin banyak yang panik, yang bahaya apa? Yang diserang apa? Trust (kepercayaan). Rakyat Indonesia lama-lama akan kehilangan trust-nya terhadap sistem perbankan Indonesia,” ungkap Benix dalam saluran YouTube miliknya.
Kekhawatiran Benix bukan tanpa alasan. Banyak kasus yang dilaporkan menunjukkan rekening masyarakat diblokir meskipun saldo yang dimiliki relatif kecil. Hal ini menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan di tengah masyarakat.
“Kenapa? Ya duit saya, saya taruh ke bank terus enggak bisa diakses kan ngeri sih, guys. Jujur saja,” tambah Benix, menggambarkan keresahan yang dirasakan banyak orang.
Dampak Kebijakan PPATK Terhadap Kepercayaan Publik
Lebih lanjut, Benix mencontohkan kasus masyarakat yang kesulitan berobat karena rekeningnya diblokir, padahal saldonya hanya Rp 12 juta. Ia menilai kebijakan ini tidak masuk akal dan kontraproduktif, terutama jika sasaran sebenarnya adalah pencucian uang oleh sindikat besar.
“Menurut saya orang judi online itu, apalagi yang mau diincar tentu bandar-bandar besar, kayaknya enggak ada gue lihat bandar itu isi dompetnya atau isi rekeningnya cuma 20 juta, 50 juta. Kayaknya enggak sih, enggak masuk akal menurut saya,” jelas Benix.
Ia menyarankan agar PPATK lebih spesifik dalam menentukan batasan saldo rekening yang akan diblokir. Misalnya, hanya rekening dormant dengan saldo di atas Rp 100 juta atau Rp 1 miliar yang perlu dibekukan.
“Lu freeze (bekukan) dah itu. Kenapa? Karena dia punya duit 1 miliar. Saya yakin, besok keluarganya ada yang masuk ke rumah sakit, saya yakin dia enggak pusing bayar tagihan. Dia enggak pusing kalau ada tagihan listrik. Dia enggak pusing kalau ada bayar uang sekolah anaknya,” paparnya.
Perlu Kajian Ulang dan Strategi yang Lebih Terarah
Namun, menurut Benix, pembekuan rekening dengan saldo kecil sangatlah tidak manusiawi. Dana tersebut bisa menjadi kebutuhan mendesak bagi pemilik rekening, seperti biaya pengobatan, pendidikan, atau kebutuhan sehari-hari.
“Terus tiba-tiba di-freeze (dibekukan). Padahal itu buat bayar uang sekolah anaknya. Buat bayar uang vaksin, buat beli uang baju anaknya, buat bayar berobat, kan sadis namanya lu. Sadis enggak lu? Coba lu pikir. Buat orang-orang, itu kan duit yang penting,” tegas Benix.
Kesimpulannya, kebijakan PPATK ini membutuhkan kajian ulang yang komprehensif. Strategi yang lebih terarah dan mempertimbangkan dampak sosial ekonomi sangat diperlukan agar tujuan pemberantasan kejahatan keuangan tercapai tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat luas. Prioritas seharusnya tetap pada penindakan terhadap pelaku kejahatan keuangan berskala besar, bukannya menyasar rekening-rekening kecil milik masyarakat biasa.
Perlunya transparansi dan komunikasi yang lebih baik dari pihak PPATK kepada masyarakat juga sangat penting untuk membangun kepercayaan dan mencegah kepanikan yang lebih meluas. Penjelasan yang detail tentang kriteria pembekuan rekening dan proses penyelesaiannya dapat mengurangi kekhawatiran dan meningkatkan pemahaman publik.