Gula Kristal Menumpuk 76.700 Ton, Petani Tebu Jawa Timur Ancam Mogok

Bisnis3 Dilihat

Ratusan petani tebu di Jawa Timur menghadapi krisis serius. Puluhan ribu ton gula kristal putih (GKP) hasil jerih payah mereka menumpuk di gudang, tak terserap pasar. Situasi ini membuat para petani terpuruk dan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Maraknya gula kristal rafinasi (GKR) impor menjadi salah satu penyebab utama permasalahan ini.

GKR impor, yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri seperti pabrik es krim, justru membanjiri pasar domestik. Hal ini membuat GKP produksi petani yang ditujukan untuk konsumsi rumah tangga kesulitan bersaing. Kondisi ini diperparah oleh minimnya dukungan pemerintah dalam menyerap hasil panen petani.

Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sunardi Edi Sukamto, mengungkapkan fakta mengejutkan. Hingga saat ini, terdapat 76.700 ton gula petani Jawa Timur yang belum terserap pasar. Jumlah ini merupakan beban berat yang harus dipikul oleh para petani.

“Kami sudah kewalahan luar biasa. Jadi sulit meneruskan tebang angkut dan pembiayaan di kebun kami sudah putus-putus bahkan beberapa pabrik gula (PG) ini sudah tidak bisa giling,” ungkap Sunardi di Surabaya, Jumat (15/8). Pernyataan ini menggambarkan betapa sulitnya situasi yang dihadapi para petani. Mereka kesulitan melanjutkan proses produksi karena terbebani stok gula yang menumpuk.

Dalam sebuah forum di Surabaya, ratusan petani tebu melampiaskan keprihatinan mereka. Mereka mengeluhkan ketidakmampuan untuk menjalankan operasional pertanian karena stok gula yang membludak di gudang. Banyak petani yang mengaku sudah hampir menyerah menghadapi situasi ini.

Sunardi juga menagih janji Menteri Pertanian (Andi Amran Sulaiman) yang sebelumnya berjanji akan membantu menyerap gula petani. Salah satu bentuk bantuan yang dijanjikan adalah pencairan dana Rp 1,5 triliun dari Danantara untuk membeli gula petani.

Namun, jika janji pemerintah terkait pembelian gula melalui Sinergi Gula Nusantara (SGN) dan Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) terbukti hanya isapan jempol, petani tebu di Jawa Timur mengancam akan melakukan mogok massal. Ancaman ini menunjukkan tingkat keputusasaan yang dialami para petani.

“Kalau dana itu tidak cair dan pemerintah tidak serius merawat petani, maka Indonesia hanya mimpi swasembada gula, karena pemerintah tidak serius menangani (kesejahteraan) petani,” tegas Sunardi. Pernyataan ini menunjukkan kekecewaan mendalam petani terhadap pemerintah. Mereka merasa pemerintah tidak serius dalam upaya mencapai swasembada gula.

Seluruh DPC APTRI di Jawa Timur bersatu suara menuntut pemerintah segera bertindak sesuai janji. Mereka menekankan bahwa swasembada gula hanya mimpi jika kesejahteraan petani tidak diperhatikan. Para petani berharap agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara tuntas.

“Selama 8 periode, panen kami tidak cair hingga gula menumpuk di gudang. Kami harap menyelesaikan konkret dari Agustus sampai November ini dari pemerintah secara tuntas,” seru Sunardi. Pernyataan ini menggambarkan penderitaan petani yang berlarutan selama 8 periode panen.

Para petani meminta perlindungan terhadap produk hilir berupa gula kristal putih sebagai gula konsumsi. Mereka berharap pemerintah hadir untuk melindungi produk petani agar dapat terserap di pasaran dan menjamin keberlanjutan usaha pertanian tebu.

“Jika anggaran Rp 1,5 Triliun yang dijanjikan tidak terealisasi, mungkin kami tidak menanam tebu, dan kami lakukan aksi demonstrasi besar-besaran, kami petani tebu akan mogok massal,” ancam Sunardi. Ancaman mogok massal ini merupakan langkah terakhir yang akan diambil petani jika pemerintah tetap abai.

Krisis gula petani ini bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga menyangkut kedaulatan pangan nasional. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret dan efektif untuk mengatasi permasalahan ini, termasuk meninjau kembali kebijakan impor GKR dan memberikan dukungan harga yang layak bagi petani tebu. Keberhasilan program swasembada gula sangat bergantung pada kesejahteraan petani tebu. Kegagalan pemerintah dalam menangani masalah ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang lebih luas.

Komentar