Isu kenakalan remaja kembali menjadi sorotan publik, khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Tawuran pelajar yang meningkat telah mendorong para pemimpin daerah untuk mengambil tindakan, meskipun dengan pendekatan yang sangat berbeda.
Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi menerapkan pendekatan disiplin tinggi melalui program Panca Waluya. Program ini mengirim siswa yang terlibat dalam tawuran, kecanduan game, atau balap liar ke barak TNI untuk menjalani pendidikan karakter selama 18 hari. Baru-baru ini, 273 siswa telah menyelesaikan pelatihan ini di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Bandung. Penekanan pada pembentukan karakter melalui pendidikan semi-militer ini diharapkan dapat membentuk perilaku siswa yang lebih baik.
Pendekatan Disiplin Tinggi Dedi Mulyadi: Panca Waluya
Program Panca Waluya bukan sekadar hukuman, melainkan upaya pembinaan karakter yang komprehensif. Siswa tidak hanya menerima pelatihan fisik dan disiplin militer, tetapi juga bimbingan mental dan spiritual. Tujuannya adalah untuk membentuk karakter yang kuat, bertanggung jawab, dan menghormati aturan. Sistem ini dinilai kontroversial oleh sebagian kalangan, namun Gubernur Dedi Mulyadi meyakini bahwa pendekatan tegas diperlukan untuk mengatasi permasalahan kenakalan remaja yang semakin serius.
Gubernur Dedi Mulyadi menekankan pentingnya pendekatan yang menyentuh hati dan melibatkan masyarakat. Ia percaya bahwa kerja sama antara pemerintah, TNI, dan masyarakat sangat krusial dalam mengatasi masalah kenakalan remaja. Keberhasilan program ini akan diukur dari perubahan perilaku siswa setelah mengikuti pelatihan. Evaluasi berkala akan dilakukan untuk memastikan efektivitas program Panca Waluya.
Pendekatan Kultural dan Religius Pramono Anung: Manggarai Bersholawat
Sementara itu, di DKI Jakarta, Gubernur Pramono Anung memilih pendekatan yang lebih lunak dan kultural. Ia meluncurkan program Manggarai Bersholawat, yang bertujuan untuk meredam tawuran melalui kegiatan keagamaan dan kebudayaan di daerah rawan konflik seperti Manggarai. Program ini berfokus pada pembinaan mental dan spiritual, serta upaya memperkuat rasa kebersamaan dan toleransi di masyarakat.
Program ini melibatkan lantunan sholawat, ceramah agama, dan kegiatan sosial lainnya yang diharapkan dapat mendekatkan warga dan menciptakan ikatan emosional yang kuat. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa akar masalah kenakalan remaja juga berakar pada kurangnya nilai-nilai keagamaan dan moral. Dengan memperkuat nilai-nilai tersebut, diharapkan dapat mengurangi angka kenakalan remaja.
Program ini masih dalam tahap awal implementasi, sehingga belum bisa dinilai efektivitasnya secara menyeluruh. Akan tetapi, pendekatan ini menawarkan alternatif yang berbeda dan patut dipertimbangkan, khususnya dalam konteks keragaman budaya dan latar belakang sosial masyarakat.
Perbandingan Dua Pendekatan: Keras vs. Lunak
Kedua pendekatan ini, meskipun berbeda, memiliki tujuan yang sama: mencegah kenakalan remaja dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan kondusif bagi generasi muda. Pendekatan Dedi Mulyadi yang keras dan disiplin mungkin efektif dalam membentuk perilaku jangka pendek, sementara pendekatan Pramono Anung yang lunak dan kultural mungkin lebih efektif dalam menciptakan perubahan perilaku jangka panjang dan berkelanjutan.
Mungkin diperlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan elemen-elemen positif dari kedua strategi. Kombinasi antara disiplin tegas dan pembinaan kultural dan spiritual dapat memberikan hasil yang lebih optimal dalam mengatasi masalah kenakalan remaja di Indonesia. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur efektivitas masing-masing pendekatan dan mengidentifikasi faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap kenakalan remaja.
Perbedaan kedua pendekatan juga mencerminkan perbedaan gaya kepemimpinan dan filosofi pemerintahan. Penting untuk memahami konteks sosial dan budaya masing-masing daerah sebelum menentukan pendekatan yang paling tepat. Yang paling penting adalah komitmen dan keseriusan dari pemerintah daerah dalam menangani masalah kenakalan remaja.