Kota Depok menghadapi tantangan besar dalam upaya memberantas HIV/AIDS hingga tahun 2030. Data Dinas Kesehatan Kota Depok mencatat 405 kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2024. Angka ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya intensif untuk mencapai target “three zero” – nol penularan, nol kematian, dan nol stigma.
Grafik kasus HIV/AIDS di Depok sejak 2018 menunjukkan fluktuasi. Tercatat 220 kasus pada 2018, meningkat menjadi 247 pada 2019, kemudian menurun menjadi 193 pada 2020 dan 199 pada 2021. Angka tersebut kembali meningkat tajam menjadi 327 pada 2022 dan 435 pada 2023, sebelum sedikit menurun menjadi 405 pada 2024.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Mary Liziawati, menjelaskan peningkatan jumlah pemeriksaan sebagai salah satu faktor penyebab peningkatan angka kasus. Dari 52.000 orang yang menjalani tes, 405 dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS.
“Memang kan kita ada peningkatan jumlah periksa dibandingkan tahun 2023,” jelas Mary. Ia menambahkan bahwa angka 405 kasus baru tersebut merupakan penambahan kasus baru, bukan total keseluruhan kasus HIV/AIDS yang ada di Depok. Kasus-kasus yang sudah teridentifikasi dan sedang menjalani pengobatan tidak termasuk dalam angka 405 tersebut.
“Ini kan penambahan kasus baru, tapi yang sudah teridentifikasi positif dan sedang diobati ada. Ini ada 52.000 orang yang dites kemudian yang ketemu positifnya kan 405,” ungkap Mary Liziawati.
Samsu Budiman dari LSM Kuldesak menilai upaya tes yang dilakukan Dinkes Kota Depok sudah tepat dan merupakan hasil kolaborasi yang baik. Ia menekankan pentingnya kerja sama antara Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Warga Peduli AIDS, LSM, dan kelompok dukungan sebaya dalam melakukan skrining dan tes HIV sukarela.
“Makin banyak ditemukan kasus baru dikarenakan kerja-kerja tim baik Dinkes, KPA, Warga Peduli Aids, NGO dan Kelompok Dukungan Sebaya dalam hal screening dan tes sukarela HIV pada populasi kunci, populasi rentan dan umum yang memiliki potensi high risk,” ujar Samsu Budiman.
Samsu Budiman, yang akrab disapa Om Budz, juga mengapresiasi ketersediaan layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan HIV/AIDS di berbagai fasilitas kesehatan, mulai dari Puskesmas hingga rumah sakit swasta. Ia menyoroti pentingnya optimalisasi program yang sudah ada, didukung oleh regulasi yang kuat baik di tingkat daerah maupun pusat.
“Potret baik program sudah dijalankan tinggal dioptimalisasi yang didukung regulasi daerah dan pusat. Kami fikir point of view program terutama media komunikasi, informasi dan edukasi yang harus digencarkan juga untuk masyarakat umum tahu perkembangannya,” tambahnya. Peran media massa dalam edukasi publik terkait HIV/AIDS sangatlah penting untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma.
Lebih lanjut, perlu adanya peningkatan akses informasi dan edukasi kesehatan reproduksi untuk mengurangi angka penularan HIV/AIDS di kalangan muda. Kampanye pencegahan yang komprehensif, termasuk penggunaan kondom dan edukasi tentang perilaku seksual yang aman, sangat diperlukan. Selain itu, perlu dikaji lebih lanjut faktor-faktor sosial ekonomi yang berkontribusi pada tingginya angka kasus HIV/AIDS di Depok. Pemetaan wilayah dengan angka kasus yang tinggi juga perlu dilakukan untuk penargetan intervensi yang lebih efektif. Kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil sangat krusial untuk keberhasilan program pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS di Depok.
Komentar