Depok Darurat HIV: Strategi Ampuh Tekan Penyebaran Virus Mematikan

Kesehatan10 Dilihat

Program diskusi publik SURGA DEPOK, bertajuk “HIV di Depok: PR Siapa yang Belum Kelar?”, berhasil menyoroti isu krusial penanggulangan HIV di Kota Depok yang selama ini sering terabaikan. Acara ini menjadi wadah bagi komunitas yang telah berdedikasi selama lebih dari satu dekade dalam advokasi dan pendampingan penderita HIV.

Upaya penanggulangan HIV di Depok telah dimulai sejak 2013, dengan tersedianya layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan pengobatan di rumah sakit serta Puskesmas. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Depok diharapkan dapat menjadi titik koordinasi lintas sektor yang efektif. Namun, berbagai tantangan muncul seiring waktu.

Tantangan tersebut antara lain akses layanan yang terbatas, anggaran yang kurang memadai, dan kurangnya dukungan kebijakan yang responsif terhadap kelompok berisiko tinggi. Hal ini mengakibatkan penanganan HIV di Depok mengalami kendala signifikan dalam mencapai target yang diharapkan. Kurangnya dukungan kebijakan juga membuat upaya pencegahan dan pengobatan menjadi tidak optimal.

Diskusi tersebut menghadirkan empat narasumber dari berbagai lembaga dan komunitas yang aktif dalam penanganan HIV di Depok. Mereka memberikan perspektif yang komprehensif mengenai permasalahan ini. Hages Budiman dari Kuldesak memaparkan realita perawatan, dukungan, dan program pengobatan HIV di Depok. Warna Sehati berbagi pengalaman waria dan transgender yang menghadapi diskriminasi.

YLKI Depok membahas strategi penjangkauan untuk Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) dan Pengguna Napza Suntik (PWID), serta tantangan stigma di layanan publik. Sementara itu, Yayasan Kaki menekankan pentingnya swakelola layanan HIV Tipe 3 dan 4 untuk keberlanjutan program. Para narasumber memberikan gambaran nyata situasi di lapangan.

Acara ini diharapkan dapat mendorong pihak-pihak terkait untuk lebih serius dalam menangani isu HIV di Depok. Perlu upaya bersama untuk memastikan tidak ada lagi pekerjaan rumah yang terbengkalai dalam menjaga kesehatan masyarakat. Kurangnya perhatian dari pemerintah menjadi hambatan utama dalam program penanggulangan HIV.

Diskusi berlangsung dengan jujur dan tajam. Para narasumber berbagi pengalaman pribadi dan kolektif, termasuk penolakan saat akan melakukan tes, penantian panjang tanpa kepastian pengobatan, dan pandangan negatif dari sistem layanan kesehatan. Pengalaman-pengalaman ini mencerminkan celah dalam sistem kesehatan yang perlu dibenahi.

“Kalau target ending AIDS 2030 itu nyata, kenapa kita masih sibuk klarifikasi ‘siapa yang harusnya kerja?’” Pertanyaan ini, yang diajukan oleh host Agung Saget dan Om Budz, menjadi inti dari diskusi, menyorot perlunya kolaborasi dan tanggung jawab bersama. Pernyataan ini menjadi kritik atas birokrasi dan kurangnya koordinasi dalam upaya penanggulangan HIV.

SURGA DEPOK menekankan pentingnya pergeseran paradigma dari pendekatan proyek ke pendekatan hak hidup. Komunitas lokal berperan vital dalam mencapai target global 3 Zero (zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, zero diskriminasi). Partisipasi aktif komunitas sangat penting untuk mewujudkan target tersebut.

Program ini mengajak masyarakat, media, dan pembuat kebijakan untuk memperhatikan siapa yang telah bekerja, siapa yang belum mendengar, dan siapa yang masih membungkam suara warga. Transparansi dan keterbukaan informasi sangat penting dalam upaya penanggulangan HIV.

SURGA DEPOK, sebagai platform dialog interaktif berbasis TikTok Live, mempertemukan warga dengan isu lokal mendesak, termasuk kesehatan, sosial, dan HAM. Dengan gaya khas Depok yang jenaka, kritis, dan hangat, program ini berupaya menjembatani kesenjangan komunikasi antara kebijakan dan realita di lapangan. Program ini terbukti efektif dalam menjangkau masyarakat luas.

Data mengenai jumlah penderita HIV di Depok, jumlah layanan VCT yang tersedia, dan alokasi anggaran untuk program penanggulangan HIV perlu dipublikasikan secara transparan agar masyarakat dapat memantau perkembangannya. Transparansi informasi akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan mendorong partisipasi publik. Lebih lanjut, perlu adanya pelatihan khusus bagi petugas layanan kesehatan untuk meningkatkan sensitivitas dan pemahaman mereka terhadap isu HIV dan kelompok-kelompok berisiko. Hal ini akan membantu mengurangi stigma dan diskriminasi.

Selain itu, perlu adanya kampanye edukasi publik yang lebih intensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV dan pencegahannya. Kampanye ini perlu menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menjangkau berbagai kalangan, termasuk kelompok rentan. Penting juga untuk melibatkan tokoh masyarakat dan artis lokal dalam kampanye ini agar pesan dapat tersampaikan dengan efektif. Peningkatan akses terhadap layanan tes HIV secara gratis dan anonim juga perlu dimaksimalkan untuk menjangkau kelompok masyarakat yang belum terjangkau.

Keterlibatan aktif LSM dan organisasi masyarakat sipil dalam program penanggulangan HIV juga perlu didukung dan difasilitasi. Mereka memiliki akses dan pemahaman yang lebih baik terhadap kelompok masyarakat yang rentan dan dapat membantu dalam upaya pencegahan dan pengobatan. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah, LSM, dan masyarakat sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam penanggulangan HIV di Depok.

Komentar