Industri asuransi global mengalami guncangan hebat sepanjang tahun 2024 akibat cuaca ekstrem yang semakin tak terkendali. Laporan WTW menunjukkan kerugian ekonomi akibat bencana cuaca mencapai lebih dari US$20 miliar (sekitar Rp328 triliun), namun hanya US$2 hingga US$3 miliar yang dapat diklaim melalui asuransi. Celah yang signifikan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan peningkatan perlindungan asuransi.
Musim topan 2024 di Pasifik Utara mencatat 23 badai tropis, dengan 15 menjadi topan dan 9 berintensitas tinggi. Meskipun jumlahnya sedikit di bawah rata-rata, kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar karena intensitas dan lokasi pendaratan badai. Topan Yagi, misalnya, menimbulkan kerugian ekonomi hingga US$15 miliar di Asia Tenggara, dengan hanya US$1 miliar yang tercover asuransi.
Rendahnya penetrasi asuransi di beberapa wilayah Asia menjadi masalah utama. Wilayah China Selatan dan Vietnam, yang dilanda Topan Yagi dengan kecepatan hingga 160 mph, sangat rentan karena minimnya perlindungan asuransi. Begitu pula di Jepang, Topan Shanshan mengakibatkan kerusakan besar, namun klaim asuransi tetap rendah karena kurangnya eksposur perlindungan.
Dampak Cuaca Ekstrem terhadap Industri Asuransi
Filipina juga mengalami dampak signifikan dengan enam badai dalam 30 hari, mempengaruhi lebih dari 13 juta penduduk dan menyebabkan kerugian US$500 juta. Minimnya kepemilikan asuransi di negara-negara tersebut semakin memperparah dampak ekonomi dan sosial dari bencana alam.
Gap perlindungan asuransi di Asia semakin lebar, sementara ancaman cuaca ekstrem terus meningkat. Industri asuransi perlu beradaptasi dengan cepat untuk menutup celah ini, melalui perluasan jangkauan, peningkatan edukasi publik, dan kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Salah satu strategi yang krusial adalah pengembangan produk asuransi yang lebih terjangkau dan relevan dengan kebutuhan masyarakat di berbagai tingkat ekonomi. Penting juga untuk meningkatkan literasi keuangan, sehingga masyarakat lebih memahami pentingnya asuransi dan manfaatnya dalam menghadapi risiko bencana alam.
Dampak di Indonesia: Anjloknya Laba Asuransi Umum
Indonesia juga merasakan dampak negatif dari cuaca ekstrem dan peningkatan klaim asuransi. Industri asuransi umum mengalami penurunan laba yang signifikan pada tahun 2024. Laba setelah pajak anjlok dari Rp7,80 triliun pada tahun 2023 menjadi rugi Rp10,14 triliun pada tahun 2024, penurunan sebesar 197,8 persen.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya hasil underwriting dan peningkatan cadangan premi serta cadangan klaim. Hasil underwriting merosot dari Rp19,46 triliun pada tahun 2023 menjadi defisit Rp1,52 triliun pada tahun 2024. Cadangan premi juga meningkat drastis, dari Rp3,44 triliun menjadi Rp22,27 triliun, sementara cadangan klaim naik dari Rp1,25 triliun menjadi Rp5,08 triliun.
Situasi ini menunjukkan perlunya strategi mitigasi risiko yang lebih efektif, baik dari sisi industri asuransi maupun pemerintah. Perlu ada peningkatan kerjasama antara pemangku kepentingan untuk menghadapi tantangan ini, termasuk inovasi produk asuransi, pengembangan model prediksi risiko bencana, dan peningkatan infrastruktur.
Langkah-langkah yang Diperlukan
Perluasan akses asuransi, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap bencana, merupakan hal yang sangat penting. Hal ini membutuhkan kerjasama yang erat antara perusahaan asuransi, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Selain itu, pengembangan model-model bisnis baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan juga sangat diperlukan untuk memastikan akses yang lebih luas terhadap perlindungan asuransi.
Kesimpulannya, dampak perubahan iklim terhadap industri asuransi sudah nyata dan mendesak. Langkah-langkah proaktif dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ini dan memastikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat di masa depan.
Tinggalkan komentar