Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menilai pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong sebagai langkah nyata pemerintah dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional. Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mengusulkan hal ini kepada DPR RI, menurut Abdullah, menunjukkan komitmen pada pengampunan demi stabilitas politik.
Abdullah melihat pemberian amnesti dan abolisi sebagai sinyal kesiapan pemerintah untuk membuka ruang pengampunan dan memulai proses rekonsiliasi. Ia percaya langkah ini akan berkontribusi pada peningkatan stabilitas politik nasional. Dampaknya, diharapkan dapat meredakan ketegangan politik dan menciptakan iklim yang lebih kondusif.
“Pemberian amnesti dan abolisi ini menunjukkan bahwa pemerintah siap membuka ruang pengampunan dan memulai proses rekonsiliasi. Keputusan ini tentu dapat membantu meningkatkan stabilitas politik,” ujar Abdullah kepada wartawan, Senin (4/8).
Amnesti bagi Hasto berarti penghapusan hukuman dan pemulihan nama baiknya. Sedangkan abolisi untuk Tom Lembong menghentikan proses hukum yang berjalan, sehingga tidak ada lagi tuntutan hukum terhadapnya. Kedua keputusan ini memiliki implikasi hukum dan politik yang signifikan.
Presiden Prabowo, menurut Abdullah, telah mempertimbangkan secara matang keputusan tersebut, termasuk aspek hukum dan dampak politik jangka panjangnya. Keputusan seberat ini, tegasnya, tidak boleh diambil secara ringan atau sembarangan. Proses pengambilan keputusan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut agar transparan dan akuntabel.
“Pemberian amnesti dan abolisi tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem hukum kita. Karena itu, prinsip-prinsip hukum seperti asas legalitas, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), serta asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) tetap harus menjadi fondasi utama dalam setiap proses penegakan hukum,” jelas Abdullah.
Abdullah menekankan pentingnya transparansi dan objektivitas dalam pelaksanaan keputusan presiden ini. Selama keputusan tersebut berada dalam kerangka konstitusi dan demi kepentingan umum, publik perlu menghormatinya sebagai bagian dari kewenangan konstitusional Presiden. Namun, pengawasan publik tetap diperlukan untuk memastikan akuntabilitas.
“Selama dijalankan dalam kerangka hukum yang benar dan berpihak pada keadilan, keputusan ini perlu dihormati sebagai bagian dari kewenangan konstitusional Presiden,” tegas legislator dari Dapil Jawa Tengah VI tersebut.
Kasus yang melibatkan Hasto dan Tom Lembong telah menjadi sorotan luas dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, pengamat hukum, dan masyarakat. Abdullah berharap langkah rekonsiliasi ini menjadi momentum untuk memperbaiki praktik penegakan hukum agar terhindar dari pengaruh kepentingan politik. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
“Kita tidak ingin lagi melihat akrobatik hukum yang justru merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum,” pungkas Abdullah. Ia menambahkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem hukum untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan dan memastikan keadilan bagi semua pihak. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam membangun kembali kepercayaan publik.
Lebih lanjut, perlu dikaji lebih dalam bagaimana keputusan amnesti dan abolisi ini akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Apakah langkah ini akan dianggap sebagai preseden yang baik atau justru sebaliknya? Diskusi publik yang lebih luas dibutuhkan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari keputusan ini. Pertimbangan-pertimbangan etis dan moral juga perlu dipertimbangkan.
Mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan amnesti dan abolisi juga perlu diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Transparansi dan keterbukaan informasi publik menjadi kunci utama dalam memastikan akuntabilitas pemerintah dalam mengambil keputusan yang berdampak luas seperti ini. Ke depan, perlu dibuat mekanisme yang lebih jelas dan terukur untuk menentukan kriteria pemberian amnesti dan abolisi, agar prosesnya lebih adil dan objektif.