Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, mengkritik rencana kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Pati hingga 250 persen. Ia menilai kebijakan ini sebagai cerminan masalah struktural dalam pembagian keuangan pusat dan daerah yang akhirnya membebani warga. Irawan mendesak pemerintah pusat untuk segera meninjau ulang sistem ini.
Irawan mendukung langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memeriksa dasar hukum wacana kenaikan PBB yang diusulkan Bupati Pati, Sudewo. Namun, ia menyayangkan Kemendagri tidak mendeteksi potensi masalah ini lebih awal. Peraturan Daerah (Perda) wajib melalui proses *review* sebelum disahkan, sementara Perkada tidak memerlukan persetujuan Kemendagri.
“Kalau Perkada tidak perlu persetujuan Kemendagri, tapi kalau Perda wajib di-review sebelum disahkan,” tegas Irawan kepada wartawan, Jumat (8/8). Pernyataan ini menekankan pentingnya pengawasan dan evaluasi kebijakan di tingkat daerah untuk mencegah beban berlebihan bagi masyarakat.
Menurut Irawan, pungutan pajak seharusnya melalui mekanisme di DPRD. Kemendagri perlu memastikan apakah Perda PBB Pati sudah melalui proses *review* yang sesuai prosedur dan mengapa masalah ini baru terungkap setelah memicu protes publik. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah sangat penting dalam hal ini.
Irawan mengakui keterbatasan pemerintah daerah dalam menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagian besar sumber pendapatan besar berada di pemerintah pusat. “Yang tersisa hanya PBB, retribusi parkir, dan pajak kendaraan bermotor,” ujarnya.
Ia mencontohkan sektor pertanian yang tidak memberikan bagi hasil kepada daerah, berbeda dengan sektor tambang dan migas. Hal ini memaksa pemerintah daerah mengandalkan pajak dan retribusi untuk menutupi kebutuhan anggaran, yang pada akhirnya berdampak pada beban rakyat.
“Ini problem struktural. Motivasi bupati PAD, tapi ruang kebijakannya sempit,” kata Irawan. Pernyataan ini menggambarkan dilema yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengelola anggaran dengan sumber daya yang terbatas.
Untuk mengatasi masalah ini, Irawan mendorong penataan ulang pembagian hasil bumi agar daerah mendapatkan porsi yang lebih adil. Dengan demikian, daerah tidak perlu lagi mengandalkan kenaikan pajak yang membebani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan anggaran.
“Harus ada rumusan bagi hasil produk hasil bumi untuk daerah,” usulnya. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi struktural dalam sistem pembagian pendapatan negara agar lebih berkeadilan.
Meskipun memahami alasan Bupati Pati, Irawan menekankan pentingnya sosialisasi yang baik dan tidak memaksa dalam menerapkan kebijakan kenaikan PBB. Ia juga mengingatkan pentingnya disiplin pengelolaan anggaran di daerah, termasuk efisiensi belanja pegawai sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 yang membatasi maksimal 30 persen dari anggaran.
“Nah itu yang harus dirasionalisasi. Jangan sampai biaya operasional Pemda lebih besar dari ketentuan,” pungkasnya. Pernyataan ini menyoroti pentingnya transparansi dan efisiensi dalam penggunaan anggaran daerah.
Lebih lanjut, perlu adanya kajian mendalam mengenai dampak sosial ekonomi dari kenaikan PBB ini terhadap masyarakat Pati. Apakah kenaikan ini sudah mempertimbangkan daya beli masyarakat, dan apakah sudah ada mekanisme perlindungan bagi masyarakat kurang mampu?
Selain itu, perlu diteliti apakah ada alternatif lain untuk meningkatkan PAD selain menaikkan PBB secara drastis. Mungkin ada potensi pendapatan lain yang bisa digali tanpa membebani masyarakat. Pemerintah daerah perlu melakukan inovasi dan kreativitas dalam mencari sumber pendapatan baru. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga penting untuk memastikan kebijakan yang diambil adil dan berkelanjutan.