Dua partai politik besar di Indonesia, PDI Perjuangan (PDIP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), baru saja menggelar kongres. Hasilnya menarik perhatian karena keduanya mempertahankan kepemimpinan lama, namun dengan mekanisme yang berbeda. Perbedaan ini menjadi sorotan dan pembahasan menarik bagi pengamat politik.
PDIP, partai yang sudah mapan dan memiliki akar kuat di masyarakat, kembali memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Prosesnya dilakukan melalui aklamasi, yang mencerminkan konsolidasi internal yang kuat dan tradisi partai. Hal ini menunjukkan kepercayaan dan loyalitas kader terhadap kepemimpinan Megawati.
Sementara itu, PSI yang lebih muda dan berupaya membangun citra modern, memilih ketua umumnya, Kaesang Pangarep, melalui pemilihan langsung atau “one man one vote”. Sistem ini dianggap sebagai upaya untuk membangun model partai yang lebih terbuka dan demokratis.
Pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, memberikan analisis yang menarik terhadap perbedaan metode pemilihan ketua umum kedua partai ini. Menurutnya, kedua pendekatan tersebut tidak bisa dibandingkan secara langsung karena konteks dan karakteristik partai yang berbeda.
“Itu kan cara-cara untuk mengubah tradisi dan mencari bentuk baru, supaya mendapat simpati publik,” ujar Agus Riewanto menjelaskan perbedaan pendekatan PSI. PSI berusaha membangun model baru yang lebih transparan dan inklusif.
Sebaliknya, PDIP yang sudah memiliki akar dan ideologi yang kuat, memilih pendekatan tradisional. “Dengan cara aklamasi itu, dalam bahasa Indonesianya barangkali musyawarah mufakat gitu ya. Sesuai tradisi yang mereka bangun selama ini,” tambah Agus menjelaskan pendekatan PDIP.
Agus menekankan bahwa baik sistem pemilihan langsung maupun aklamasi sah selama tidak menimbulkan konflik internal. Pentingnya adalah penerimaan sistem tersebut oleh konstituen masing-masing partai. Kedua partai memiliki ciri khasnya masing-masing, dan metode pemilihan yang berbeda mencerminkan hal tersebut.
Keputusan PDIP untuk mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) juga menarik perhatian. Menurut Agus, hal ini merupakan respons terhadap situasi hukum yang dihadapi Sekjen sebelumnya, Hasto Kristiyanto.
“Itu bagian dari dinamika partai. Mungkin PDIP punya pandangan yang lebih jeli melihat kondisi saat ini. Di mana Mas Hasto belum siap secara psikologis untuk menjadi Sekjen partai karena masih berhadapan dengan hukum ya,” jelas Agus.
Meskipun Hasto Kristiyanto telah mendapatkan amnesti dari Presiden, proses hukumnya belum sepenuhnya selesai. Surat keputusan presiden untuk pembebasan belum dikeluarkan, sehingga status hukumnya belum sepenuhnya bersih.
“Kan meskipun amnesti sudah dikeluarkan presiden, tapi yang bersangkutan belum keluar surat keputusan presiden untuk segera bebas. Ini dalam kondisi yang belum sepenuhnya bebas,” lanjut Agus menjelaskan alasan Megawati merangkap jabatan Sekjen.
Oleh karena itu, PDIP memutuskan Megawati merangkap jabatan Sekjen sementara. “Artinya bagi PDIP itu menjadi pertimbangan, sehingga Sekjen untuk sementara dipegang oleh Ketum. Sehingga apakah itu nanti akan terjadi perubahan, itu PDIP lebih tahu soal itu, dan saya rasa apa yang menimpa PDIP itu sudah paling baik menurut PDIP,” kata Agus.
“Ya, pertimbangannya karena posisi Pak Mas Hasto ini kan masih belum selesai secara utuh di amnestinya, ya karena masih belum dikeluarkan surat keputusannya, sehingga belum Kepres yang belum keluar, ya, sehingga dia belum keluar secara bebas. Sehingga selesaikan dulu. Maka itu diberi tenggat waktu, untuk sementara Sekjennya dijabat oleh Ibu Ketum,” Agus menambahkan detail penjelasannya.
Posisi Megawati di PDIP dinilai masih sangat penting dan menjadi kekuatan utama partai. “Betul, betul masih dianggap sebagai mesin partai dan partai, sehingga Mbak Mega masih diaklamasikan sebagai Ketum partai,” pungkas Agus. Kepemimpinan Megawati masih menjadi faktor kunci keberlangsungan PDIP.