Larangan Bendera One Piece: Cerminan Kecemasan Publik, Pemerintah Harus Refleksi Diri

oleh -68 Dilihat

Pengibaran bendera “Tengkorak Topi Jerami” dari anime One Piece menjelang HUT RI ke-78 memicu kontroversi. Pemerintah meresponnya dengan larangan, namun langkah ini dinilai berlebihan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

YLBHI berpendapat bahwa tindakan pemerintah justru menunjukkan ketidakmampuan menerima kritik. Alih-alih melihatnya sebagai ancaman, YLBHI melihat fenomena ini sebagai ekspresi keresahan anak muda terhadap kondisi sosial politik negara. Mereka menyampaikan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah melalui simbol budaya populer yang dianggap relevan.

Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, menyatakan, “Mestinya kemudian, ini jadi peringatan bagi pemerintah dan negara untuk introspeksi diri, memperbaiki diri. Bukan justru melakukan ancaman, menyebutnya sebagai tindak pidana dan lain sebagainya. Itu sangat berlebihan lah menurut saya.” Pernyataan ini disampaikan Arif saat dihubungi pada Senin, 4 Agustus 2025.

Kritik Melalui Budaya Populer

YLBHI menilai penggunaan simbol Bajak Laut Topi Jerami sebagai bentuk kritik sosial yang disampaikan melalui medium yang mudah dipahami anak muda. Simbol perlawanan dalam anime tersebut resonan dengan perasaan publik terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.

Relevansi Simbolisme Perlawanan

Anime One Piece sendiri dikenal dengan tema perjuangan melawan ketidakadilan dan korupsi. Karakter Luffy dan kru Topi Jerami yang gigih melawan musuh-musuh kuat dianggap sebagai representasi dari harapan akan perubahan dan penolakan terhadap sistem yang represif. Oleh karena itu, penggunaan simbol ini bukan tanpa makna.

Tanggapan yang Lebih Dewasa

YLBHI mendesak pemerintah untuk merespon ekspresi anak muda ini dengan lebih bijak. Ancaman hukum dinilai tidak tepat dan justru memperkeruh suasana. Pemerintah seharusnya membuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat.

Arif Maulana menegaskan, “Seharusnya ditanggapi dengan membuka ruang diskusi, bukan justru ditanggapi dengan ancaman-ancaman. Jadi istilah enggak nyambung.” Sikap terbuka dan demokratis dinilai lebih efektif daripada pendekatan represif yang hanya akan memperlebar jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat.

Analisis Lebih Dalam

Kasus ini menyoroti pentingnya pemerintah untuk memahami cara anak muda mengekspresikan diri di era digital. Media sosial dan budaya populer menjadi saluran penting bagi generasi muda untuk menyampaikan aspirasi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan strategi komunikasi publik yang lebih responsif dan inklusif.

Lebih jauh lagi, pemerintah perlu melakukan evaluasi internal terhadap kebijakan yang memicu keresahan masyarakat. Membangun kepercayaan publik membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya melarang ekspresi yang dianggap mengganggu.

Kesimpulan

Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih peka terhadap aspirasi masyarakat dan menerima kritik sebagai bagian dari proses demokrasi. Alih-alih menggunakan pendekatan represif, pemerintah perlu membangun dialog dan mencari solusi yang berbasis pada partisipasi dan kepercayaan. Membuka ruang diskusi akan jauh lebih efektif daripada memberikan ancaman yang hanya akan memperkeruh situasi dan memperlebar kesenjangan.

Tentang Penulis: Mais Nurdin

Mais Nurdin, yang dikenal sebagai Bung Mais, adalah seorang SEO Specialis dan praktisi teknologi pendidikan di Indonesia. Ia aktif menyediakan sumber daya pendidikan melalui platform digital BungMais.com. Selain itu, Bung Mais juga memiliki kanal YouTube yang berfokus pada tutorial seputar Blogspot, WordPress, Google AdSense, YouTube, SEO, HTML, dan bisnis online. Melalui kanal ini, ia berbagi tips dan trik untuk membantu blogger pemula dan pelaku bisnis digital mengembangkan keterampilan mereka. Dengan pengalaman luas di bidang pendidikan dan literasi digital, Bung Mais berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui pemanfaatan teknologi dan penyediaan materi pembelajaran yang mudah diakses.