Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menekankan pentingnya kerja sama antar agama dalam memberantas kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia menyebut kolaborasi lintas sektor ini selaras dengan arahan Presiden, yang menyatakan bahwa tidak ada satu kementerian pun yang bisa bekerja sendiri. Semua harus bersinergi dan berkolaborasi.
Arifah mengingat pesan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang selalu mengajak kerja sama lintas agama untuk menyelesaikan masalah bangsa. Ia yakin bahwa dengan kerja sama, masalah perempuan dan anak dapat diatasi bersama. “Saya yakin ketika semua pihak bergandengan tangan, bersinergi, dan berkolaborasi, persoalan perempuan dan anak yang ada dapat diselesaikan bersama-sama,” ujar Arifah pada Selasa (5/8/2025).
Pendekatan berbasis nilai-nilai agama dan budaya lokal dianggap sangat penting untuk mengatasi tantangan zaman. Oleh karena itu, Menteri PPPA mengajak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk berperan lebih besar dalam memperkuat ketahanan keluarga. Hal ini penting mengingat data yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, satu dari empat perempuan dan satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat 11.850 kasus kekerasan dari Januari hingga pertengahan Juni 2025. Angka ini menunjukkan urgensi penanganan masalah ini.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian PPPA melanjutkan program Desa/Kelurahan Ramah Anak dan Perempuan (DRPPA), yang kini berganti nama menjadi Ruang Bersama Indonesia (RBI). Perubahan nama ini membawa tambahan indikator penting, yaitu kolaborasi dan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Program ini bertujuan menciptakan desa ideal yang bebas stunting, memastikan anak-anak bersekolah, dan memberdayakan perempuan. “Perubahan ini membawa satu tambahan indikator penting, yaitu adanya kolaborasi, sinergi, dan partisipasi aktif dari berbagai pihak serta masyarakat. Program ini bertujuan untuk menciptakan desa ideal yang bebas stunting, memastikan anak-anak bersekolah, dan memberdayakan perempuan,” tegas Arifah.
Wakil Wali Kota Semarang, Iswar Aminuddin, mengapresiasi inisiatif komunitas lintas iman dalam menciptakan ruang belajar toleransi bagi anak-anak. Salah satu contohnya adalah program Semarang Anak Damai, yang mengajak anak-anak usia 10-13 tahun mengunjungi berbagai rumah ibadah untuk memahami perbedaan dan membangun saling menghargai. Upaya menjadikan rumah ibadah sebagai ruang publik ramah anak juga terus digencarkan.
“Upaya menjadikan rumah ibadah sebagai ruang publik ramah anak juga terus digencarkan. Sejumlah masjid, gereja, dan pura di Semarang mulai bertransformasi menjadi ruang terbuka yang aman bagi anak dan perempuan, dengan kolaborasi bersama aktivis serta organisasi keagamaan,” kata Iswar Aminuddin.
Ketua FKUB Kota Semarang, Kyai Mustamaji, juga menekankan pentingnya kolaborasi semua elemen masyarakat untuk memperkuat ketahanan sosial berbasis nilai agama dan budaya lokal. Ia mengajak semua pihak menjadikan toleransi dan kerukunan sebagai tanggung jawab bersama. Kyai Mustamaji mengapresiasi keterlibatan pemerintah daerah dan Kemen PPPA dalam mendorong kolaborasi antarumat beragama.
“Baru-baru ini kota Semarang mendapat peringkat ketiga dalam Indeks Kota Toleran. Harus diakui itu bukan saja peranan FKUB, tetapi juga ada inisiasi seperti Persaudaraan Lintas Iman (PELITA) sebagai gerakan akar rumput yang aktif menjaga harmoni antar umat beragama. PELITA tumbuh dari inisiatif masyarakat sipil dan memiliki daya jangkau yang lebih luas. Kolaborasi memang sudah membuktikan menjadi kunci keberhasilan Semarang dalam mempertahankan predikat sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia,” jelas Kyai Mustamaji.
Perlu adanya peningkatan sosialisasi dan edukasi mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak di berbagai kalangan masyarakat. Kampanye anti-kekerasan yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media massa dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang isu ini. Selain itu, perlu juga adanya peningkatan akses layanan bantuan bagi korban kekerasan, seperti pusat layanan terpadu perempuan dan anak yang mudah diakses dan ramah korban. Peningkatan kapasitas petugas di lapangan dalam penanganan kasus kekerasan juga sangat penting untuk memastikan penanganan yang profesional dan efektif. Kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi kunci keberhasilan dalam upaya memberantas kekerasan terhadap perempuan dan anak.