Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Rifa’i, mengkritik keras Ketua Majelis Pertimbangan PPP, M. Romahurmuziy (Rommy), yang dinilai terlalu aktif mengusulkan calon Ketua Umum dari luar partai menjelang Muktamar X. Rifa’i menyebut tindakan Rommy sebagai upaya “mengobral” jabatan Ketua Umum PPP.
Rifa’i mengecam keras upaya Rommy yang disebut-sebut mendorong Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk menjadi Ketua Umum PPP. Ia menilai hal ini sangat memalukan dan menggambarkan partai seolah-olah hanya sebagai komoditas jual beli jabatan.
Kritikan Rifa’i ini didasari oleh pengalaman pahit PPP pada Pemilu 2019. Saat itu, di tengah perjuangan untuk meraih suara, Rommy yang kala itu menjabat Ketua Umum, ditangkap KPK karena kasus suap terkait jual beli jabatan. Kejadian ini, menurut Rifa’i, merupakan pukulan telak bagi PPP.
Dampak Penangkapan Rommy terhadap PPP
Penangkapan Rommy, yang saat itu berdomisili di Jakarta Timur, berdampak sangat signifikan terhadap perolehan suara PPP di daerah tersebut. Rifa’i menyebutkan, PPP kehilangan 3 kursi DPRD dan seluruh kursi DPR RI di Jakarta Timur yang sebelumnya berhasil diraih.
Rifa’i menggambarkan situasi tersebut sebagai kehancuran total bagi PPP di Jakarta Timur. Kejadian ini, menurutnya, menjadi titik awal keterpurukan PPP, yang mengakibatkan penurunan drastis perolehan kursi di DPRD dan DPR RI.
Dari 10 kursi DPRD yang dimiliki pada 2014, PPP hanya mampu mempertahankan satu kursi pada Pemilu 2019. Begitu pula di DPR RI, PPP kehilangan seluruh kursi yang sebelumnya berjumlah tiga kursi.
Rifa’i mendesak Rommy untuk bertobat dan berhenti mengganggu PPP. Ia meminta Rommy untuk menghormati warisan para ulama dan memberikan kesempatan kepada kader PPP untuk bekerja keras mengembalikan kejayaan partai.
Tanggapan Rommy dan Pandangannya terhadap Kepemimpinan PPP Saat Ini
Menanggapi kritikan tersebut, Rommy berpendapat bahwa kepemimpinan PPP saat ini di bawah Suharso Monoarfa telah gagal mempertahankan kursi di Senayan. Ia beralasan bahwa PPP harus lebih fleksibel dan mempertimbangkan calon Ketua Umum dari luar partai.
Rommy mengklaim mendapat dukungan dari hampir seluruh DPW dan DPC PPP untuk membuka peluang bagi calon Ketua Umum dari eksternal partai. Menurutnya, PPP tidak perlu terpaku pada aturan AD/ART yang mensyaratkan calon Ketua Umum harus pernah menjabat di kepengurusan DPP.
Pernyataan Rommy ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang khawatir langkah ini akan semakin melemahkan PPP dan mengabaikan kader-kader internal yang telah berjuang dan berdedikasi untuk partai.
Analisis Situasi dan Potensi Dampaknya bagi PPP
Situasi internal PPP saat ini tampak bergejolak. Perseteruan antara kubu yang menginginkan regenerasi kepemimpinan dengan kubu yang mempertahankan status quo semakin memanas. Konflik ini berpotensi memecah belah partai dan menghambat upaya pemulihan citra dan perolehan suara.
Perlu diingat bahwa pemilihan Ketua Umum merupakan momen krusial bagi PPP. Keputusan yang diambil akan sangat menentukan arah dan masa depan partai ke depannya. Oleh karena itu, proses pemilihan Ketua Umum harus dilakukan secara demokratis, transparan, dan mengedepankan kepentingan partai di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Langkah yang bijak bagi PPP adalah dengan melakukan konsolidasi internal, merangkul seluruh kader, dan memilih pemimpin yang mampu membawa PPP kembali ke jalan yang benar, mengatasi masalah internal, dan meningkatkan kepercayaan publik.
Keberhasilan PPP dalam menghadapi tantangan ke depan sangat bergantung pada kepemimpinan yang efektif dan solid, serta kesiapan seluruh kader untuk bekerja sama dan berjuang bersama-sama.