Polemik dugaan penggunaan bahan nonhalal di Ayam Goreng Widuran Solo, sebuah rumah makan terkenal di Kota Solo, Jawa Tengah, memicu kritik tajam terhadap lemahnya pengawasan makanan halal di tingkat daerah. Kejadian ini menyoroti kerentanan sistem yang seharusnya melindungi konsumen muslim di kota yang dikenal sebagai destinasi wisata kuliner.
Anggota DPD RI sekaligus pengurus MUI Pusat, Gus Hilmy, mengecam lambannya respons pemerintah daerah dalam menangani isu ini. Ia menekankan bahwa kehalalan makanan bukan hanya masalah agama, tetapi juga hak konsumen yang dilindungi UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Gus Hilmy menyatakan keprihatinannya atas keterlambatan penemuan dugaan penggunaan bahan nonhalal. Informasi tersebut baru terungkap setelah viral di media sosial, bukan melalui pengawasan aktif dari pihak berwenang. Hal ini mengindikasikan kelemahan kontrol dan penegakan aturan di lapangan.
Sistem Pengawasan Halal yang Gagal
Gus Hilmy secara tegas menilai Pemkot Solo gagal menjaga kredibilitas kota sebagai pusat wisata kuliner yang aman bagi mayoritas penduduk muslim. Promosi pariwisata yang gencar, menurutnya, tidak sebanding dengan pengawasan kehalalan yang lemah. Kepercayaan publik terhadap keamanan dan kehalalan makanan di Solo menjadi taruhannya.
Ia mempertanyakan efektivitas pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tingkat lokal. Kejadian ini menunjukkan celah besar dalam sistem, yang memungkinkan pelaku usaha nakal beroperasi tanpa terdeteksi. Pemerintah daerah, menurut Gus Hilmy, harus bertanggung jawab penuh atas kegagalan ini.
Perlu Peningkatan Pengawasan dan Sanksi Tegas
Ke depan, diperlukan peningkatan signifikan dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait produk halal. Sanksi yang lebih tegas perlu diberikan kepada pelaku usaha yang melanggar aturan, mulai dari peringatan hingga pencabutan izin usaha. Hal ini untuk memberikan efek jera dan melindungi konsumen.
Pemerintah daerah juga perlu meningkatkan kerjasama dengan organisasi keagamaan, seperti MUI, untuk memperkuat pengawasan dan edukasi kepada pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikasi halal dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku. Transparansi dalam proses sertifikasi juga perlu ditingkatkan.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha dan Kesadaran Konsumen
Gus Hilmy mengingatkan pelaku usaha untuk tidak sembarangan mencantumkan label halal tanpa sertifikasi resmi dari BPJPH dan MUI. Mencantumkan label halal tanpa sertifikasi merupakan pelanggaran hukum dan merugikan konsumen. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga perlu diperhatikan secara serius.
Selain itu, Gus Hilmy mengajak masyarakat untuk lebih waspada dan aktif menanyakan kehalalan produk makanan sebelum mengkonsumsinya. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat mengenai kehalalan produk yang mereka beli.
Meskipun kejadian ini menimbulkan kekhawatiran, Gus Hilmy menghimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak panik berlebihan jika terlanjur mengkonsumsi makanan yang diduga mengandung bahan nonhalal. Yang terpenting adalah pembelajaran dari kejadian ini untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan ke depan.
Komitmen terhadap produk halal, menurut Gus Hilmy, bukan sekadar formalitas, melainkan tanggung jawab hukum dan moral yang harus dipegang teguh oleh semua pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen. Kepercayaan publik terhadap sistem jaminan produk halal perlu dipulihkan dan diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Tinggalkan komentar