Badai Ekstrem Landa Asia: Industri Asuransi Kewalahan Tangani Klaim Membengkak

Mais Nurdin

22 Mei 2025

3
Min Read
Badai Ekstrem Landa Asia: Industri Asuransi Kewalahan Tangani Klaim Membengkak

Krisis iklim telah memicu yang signifikan, terutama bagi asuransi. Tahun 2024 mencatat lonjakan akibat cuaca ekstrem, melebihi kemampuan asuransi untuk menanggungnya. Laporan menunjukkan jurang besar antara aktual dan kompensasi asuransi yang diberikan.

Bencana cuaca di Asia, misalnya, mengakibatkan kerugian lebih dari US$20 miliar (sekitar Rp328 triliun). Ironisnya, hanya sekitar US$2 hingga US$3 miliar yang diklaim melalui asuransi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk frekuensi bencana yang meningkat dan penetrasi asuransi yang rendah di wilayah rawan bencana.

Musim topan 2024 di kawasan Pasifik Utara, meskipun jumlahnya sedikit di bawah rata-rata, mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar. Intensitas dan lokasi pendaratan badai menjadi faktor penentu. Topan Yagi, misalnya, menyebabkan 1.200 korban jiwa dan kerugian hingga US$15 miliar, namun hanya sekitar US$1 miliar yang tercakup oleh asuransi.

Tantangan Asuransi di Asia

Rendahnya penetrasi asuransi di wilayah seperti China Selatan dan Vietnam menjadi perhatian utama. Topan Yagi, dengan kecepatan hingga 160 mph, merupakan salah satu badai terkuat yang pernah melanda Vietnam dan Hainan, namun klaim asuransinya tetap rendah karena minimnya perlindungan yang tersedia.

Kondisi serupa terjadi di dengan Topan Shanshan, dan Filipina yang dilanda enam badai dalam 30 hari, mengakibatkan kerugian hingga US$500 juta. Minimnya kepemilikan asuransi membuat jutaan orang rentan secara dalam menghadapi .

Gap perlindungan asuransi di Asia semakin lebar, sementara cuaca ekstrem semakin meningkat. Industri asuransi menghadapi tantangan besar untuk meningkatkan jangkauan, melakukan edukasi publik yang lebih intensif, dan berkolaborasi dengan pemerintah dan sektor swasta untuk memperkuat ketahanan terhadap krisis iklim.

Dampak Krisis Iklim terhadap Industri Asuransi

juga merasakan tekanan yang signifikan. Industri asuransi umum mengalami penurunan laba yang drastis pada tahun 2024. Laba setelah pajak yang pada tahun 2023 mencapai Rp7,80 triliun, berubah menjadi rugi Rp10,14 triliun di tahun 2024 – penurunan sebesar 197,8 persen.

Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya hasil underwriting dan peningkatan cadangan premi dan cadangan klaim. Hasil underwriting yang pada tahun 2023 mencapai Rp19,46 triliun, menjadi defisit Rp1,52 triliun di tahun 2024 – penurunan sebesar 102,7 persen.

Cadangan premi meningkat drastis dari Rp3,44 triliun pada 2023 menjadi Rp22,27 triliun pada 2024 (kenaikan 546,5 persen), sementara cadangan klaim naik dari Rp1,25 triliun menjadi Rp5,08 triliun (kenaikan 306,3 persen). Kenaikan ini memberikan tekanan besar terhadap profitabilitas perusahaan asuransi umum di .

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Industri asuransi perlu mengembangkan produk asuransi yang lebih terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat, terutama di daerah rawan bencana.

Program edukasi publik yang efektif sangat krusial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya asuransi dan manfaat perlindungan finansial. Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menciptakan regulasi yang mendukung pengembangan industri asuransi dan menyediakan insentif bagi masyarakat untuk memiliki asuransi.

Kerja sama antara sektor publik dan swasta sangat penting untuk mengembangkan sistem peringatan dini yang handal dan yang tahan terhadap bencana. dalam dan juga perlu ditingkatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas industri asuransi dalam menanggulangi dampak krisis iklim.

Kesimpulannya, krisis iklim telah menciptakan tantangan besar bagi industri asuransi , termasuk Indonesia. Solusi yang komprehensif dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari risiko finansial akibat cuaca ekstrem dan membangun ketahanan ekonomi yang lebih kuat di .

Tinggalkan komentar

Related Post