News  

Swasembada Pangan Indonesia: Anomali Beras Melimpah Harga Selangit

Indonesia mencapai tonggak sejarah dalam swasembada pangan beras pada Juli 2025. Cadangan beras nasional di Bulog mencapai rekor 4,2 juta ton, sebuah pencapaian luar biasa yang terakhir kali diraih pada era Presiden Soeharto tahun 1984. Ini menandai keberhasilan program swasembada pangan yang menjadi janji kampanye Presiden Prabowo Subianto.

Produksi beras dalam negeri meningkat signifikan, bahkan melampaui kebutuhan konsumsi nasional. Keberhasilan ini patut diapresiasi, terutama berkat upaya Kementerian Pertanian. Kenaikan harga gabah hingga lebih dari Rp6.000 per kilogram juga meningkatkan kesejahteraan petani.

Bulog berperan penting dalam membeli gabah petani dengan harga tinggi, mendorong peningkatan produksi. Namun, paradoks terjadi: meskipun stok beras melimpah, harga beras di tingkat konsumen justru melonjak. Menteri Pertanian menyebutnya sebagai “anomali”.

Anomali Harga Beras: Melimpahnya Stok vs Kenaikan Harga

Secara logika, pasokan beras yang berlimpah seharusnya menekan harga. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kenaikan harga ini bukan karena ulah mafia beras, melainkan karena masalah logistik dan rantai pasok yang kompleks.

Bulog, dengan pangsa pasar hanya 20-25%, kesulitan mendistribusikan stok 4,2 juta ton beras ke seluruh masyarakat. Sebagian besar rantai pasok (sekitar 80%) dikuasai oleh pihak swasta. Ketika Bulog menyerap gabah dalam jumlah besar dengan harga tinggi, swasta kekurangan pasokan.

Petani lebih memilih menjual ke Bulog karena harga yang lebih menguntungkan. Akibatnya, stok beras di pasar eceran yang didominasi swasta menipis, sehingga mendorong harga naik. Ini menciptakan dilema bagi Bulog.

Dilema Bulog: Antara Keuntungan Petani dan Kerugian Negara

Jika Bulog menjual beras di bawah harga beli dari petani, mereka akan merugi dan berpotensi menghadapi pemeriksaan hukum atas kerugian negara. “Mandat Bulog adalah membeli di harga tinggi, namun tidak ada mandat untuk menjual dengan rugi,” demikian pernyataan yang dikutip dari kanal YouTube Bennix pada 11 Juli 2025.

Akibatnya, beras menumpuk di gudang Bulog dan berisiko rusak karena keterbatasan kapasitas penyimpanan. Beras hanya dapat bertahan sekitar 6-12 bulan. Kondisi ini telah lama dikhawatirkan, seperti yang disoroti oleh mantan Gubernur Jawa Barat, Deddy Mulyadi sejak 2021. Ia menyoroti kelemahan Bulog dalam menyerap gabah maksimal dan kemampuan distribusi yang minim.

Komisioner KPPU juga menegaskan bahwa Bulog hanya menguasai sebagian kecil pangsa pasar, sehingga tak mampu mengintervensi harga pasar secara signifikan. Jika masalah distribusi ini tak segera diatasi, swasembada pangan akan sia-sia, dan Indonesia bisa “mati di lumbung padinya sendiri”.

Solusi Mengatasi Krisis Distribusi Beras

Beberapa solusi perlu dipertimbangkan untuk mengatasi “missing link” dalam rantai pasok beras. Berikut beberapa alternatif yang bisa dikaji:

  • Melibatkan Inkopat/TNI: Memanfaatkan jaringan Inkopat dan infrastruktur TNI untuk membantu distribusi beras hingga ke pelosok.
  • Hibah Beras: Menghibahkan kelebihan stok beras ke negara lain atau mendistribusikannya sebagai bansos. Namun, opsi ini berpotensi merugikan pengusaha beras swasta.
  • Adopsi Model Thailand: Pemerintah bisa meniru model Thailand, di mana lembaga negara membeli gabah mahal dari petani, namun menjual beras murah ke konsumen untuk menjaga stabilitas harga.

Pemerintah, khususnya Kementerian BUMN dan Kementerian Perdagangan, perlu segera menemukan solusi efektif. Jika tidak, stok beras yang melimpah namun tak terdistribusi dapat menjadi “bom waktu” yang mengancam stabilitas ekonomi dan politik.

Selain solusi di atas, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem rantai pasok beras. Ini termasuk peningkatan infrastruktur penyimpanan dan transportasi, serta perluasan akses pasar bagi petani kecil agar mereka tidak selalu bergantung pada Bulog. Penguatan koperasi petani juga menjadi penting untuk memperkuat daya tawar mereka.

Transparansi harga dan pengawasan ketat terhadap praktik-praktik manipulasi harga juga diperlukan. Pemerintah harus memastikan bahwa manfaat swasembada beras benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir pihak.

Exit mobile version