Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, secara tegas mendukung usulan penetapan Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai pahlawan nasional. Dukungan ini disampaikan dalam pidato kunci Seminar Nasional Teungku Daud Beureueh di Banda Aceh, menekankan kontribusi luar biasa beliau bagi bangsa dan negara.
Yusril memaparkan peran vital Daud Beureueh dalam melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Lebih dari itu, beliau berperan penting dalam mendukung kemerdekaan Indonesia dan menegaskan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia. Sebuah langkah berani, mengingat tidak semua tokoh Aceh saat itu mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada masa awal kemerdekaan, terdapat perdebatan mengenai status Aceh. Sebagian menginginkan Aceh merdeka, sementara yang lain tetap berada di bawah Belanda. Di tengah perpecahan ini, Daud Beureueh berjuang keras mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI melalui jalur politik, militer, dan diplomasi.
Keinginan Daud Beureueh menjadikan Aceh sebagai provinsi istimewa dengan keistimewaannya dikabulkan oleh Presiden Soekarno. Hal ini terlihat dari pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dengan pangkat Mayor Jenderal TNI (Tituler) pada masa revolusi.
Provinsi Aceh pun dibentuk melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri RI untuk Sumatera. Namun, keputusan ini kemudian dicabut oleh pemerintah pusat pada tahun 1950 karena tidak disetujui oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pencabutan ini memaksa integrasi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Dilema dan Kekecewaan Daud Beureueh
Pencabutan status Provinsi Aceh menjadi titik balik yang menyakitkan. Yusril menjelaskan bahwa Perdana Menteri Mohammad Natsir, yang saat itu harus melaksanakan keputusan KNIP, menghadapi dilema yang pelik. Beliau bahkan terlambat datang ke Aceh untuk menemui Daud Beureueh karena kesedihan atas meninggalnya putrinya.
Kedatangan Natsir yang terlambat membuat Daud Beureueh sudah lebih dulu menyingkir dan memulai perlawanan terhadap pemerintah pusat. Meskipun belum secara resmi mendeklarasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TI) saat itu, tindakan ini menandakan kekecewaan mendalam atas janji yang tak ditepati.
Meskipun Provinsi Aceh dibentuk kembali pada 1956, kepercayaan Daud Beureueh terhadap pemerintah pusat telah pudar. DI/TII Aceh yang dipimpinnya kemudian bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada tahun 1958.
Menimbang Kembali Narasi Sejarah
Yusril menekankan pentingnya menulis ulang sejarah Daud Beureueh. Beliau bukan pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI, melainkan seorang Republikan yang kecewa karena janji-janji pemerintah pusat tidak terpenuhi. Perjuangannya, meskipun melalui jalur perlawanan, berakar dari rasa nasionalisme yang kuat.
Sebagai perbandingan, Yusril menyebutkan Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, yang pada masa Orde Lama dan Orde Baru dianggap sebagai pemberontak PRRI. Namun, setelah dikaji ulang, mereka diakui sebagai pahlawan nasional karena perjuangannya dalam mengoreksi kebijakan pemerintah pusat saat itu. Hal serupa, menurut Yusril, pantas diberikan kepada Daud Beureueh.
“Dari fakta-fakta sejarah itu, Daud Beureueh mestinya tidak dianggap sebagai pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI. Beliau seorang Republikan yang kecewa dengan janji-janji yang tak kunjung diwujudkan para pemimpin di pusat,” kata Menko Yusril.
Dengan demikian, penetapan Daud Beureueh sebagai pahlawan nasional bukan hanya pengakuan atas jasanya, tetapi juga koreksi atas persepsi sejarah yang selama ini kurang tepat. Hal ini penting untuk memberikan penghargaan yang pantas kepada tokoh-tokoh yang telah berjuang untuk bangsa dan negara, meskipun jalan perjuangannya penuh dengan dinamika dan tantangan.
Perlu diingat bahwa konteks sejarah sangat kompleks. Peristiwa yang terjadi pada masa lalu harus diinterpretasikan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Memperbaiki catatan sejarah tentang tokoh-tokoh penting seperti Daud Beureueh merupakan langkah penting untuk membangun pemahaman yang lebih akurat dan adil tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.